FIREFLIES
ON THE SKY
ON THE SKY
Hari pun
cepat berlalu dan pagi telah tiba. Tepat pukul 08.00 Jean datang menjenguk
dengan membawa sarapan untuk Joe serta beberapa buah-buahan untuk Mili. Joe
terlihat sedang tertidur di samping Mili. Wajahnya nampak begitu kucel dan
sepertinya ia kurang tidur. Meskipun kasihan, Jean tetap berusaha
membangunkannya untuk sekedar memberinya sarapan. Karena Jean tau, dari kemarin
dia sibuk mengurusi Mili sehingga Joe tidak memperhatikan waktu makannya.
“Joe?
Joenathan? Bangun..makan dulu yuk” Jean menggoyang-goyangkan bahu Joe agar dia
bisa segera bangun.
Karena
Joe merasakan tubuhnya di paksa untuk segera bangun, ia sedikit mengernyitkan
dahinya dan mulai membuka kedua matanya. Meskipun rasa lelah mendera dirinya,
ia mencoba untuk menegakkan tubuhnya dan melihat siapa yang membangunkannya
pagi ini. Joe mengusap-usap kedua matanya dan sedikit menguap.
“Eh,
loe Jean. Sini duduk dulu. Udah lama nunggu yaa? Sorry gue ketiduran”
“Enggak
kok, gue baru aja dateng. Ini gue bawain sarapan buat loe. Meskipun loe sibuk
ngurusin Mili, tapi loe juga harus ngerawat diri loe.”
“Gue cuma
pengen dia cepet sadar dan cepet sembuh. Gue nggak pengen dia kenapa-kenapa”
“Iya gue
ngerti. Gue tau banget gimana rasa sayang loe ke Mili. Jujur, kemarin gue syok
banget setelah mendengar kabar Mili. Dia adalah bagian dari hidup kita. Dia
adalah sahabat kita. Jadi, kita semua bareng-bareng membantu supaya Mili bisa
beraktifitas seperti semula dan kita semua juga berusaha untuk mencoba membantu
agar ingatannya pulih kembali. Dan kita bisa bareng-bareng lagi. Gue sayang
banget sama Mili” air mata terlihat jatuh dari kedua mata Jean. Dia nggak tega
melihat keadaan sahabatnya seperti itu. Sementara Joe hanya bisa tersenyum
mendengar apa yang dikatakan Jean. Ia tak menyangka bahwa dengan keadaan yang
seperti ini sahabat-sahabatnya masih tetap setia untuk selalu bersama.
Sampai
siang ini Mili belum juga membuka matanya. Keadaan ini membuat Joe khawatir.
Sedangkan Davi, bahkan sampai sekarang belum nampak batang hidungnya. Entah dia
melarikan diri atau memang ia sudah tidak mau bertemu dengan Mili lagi. Yang
pasti sekarang Joe benar-benar sangat membenci sosok Davi. Dia sudah tak mau
lagi melihat mukanya sekarang. Baginya, semua ini nggak bakal terjadi apabila
Davi tidak melakukan tindakan yang begitu menunjukkan bahwa ia sebenarnya
adalah laki-laki brengsek.
Joe
selalu berada di samping Mili. Dia menggenggam tangan gadis itu dengan erat.
Joe berharap saat ia bangun nanti semua akan baik-baik saja. Dia mengelus dahi
Mili dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah sahabatnya
itu. Di dalam hati Joe, sebenarnya ia sedang menangis sekarang. Dia tidak habis
pikir apabila nanti Mili sama sekali tidak mengingat akan sosoknya yang selama
ini setia bersamanya.
“Mili,
please bangun Mil. Buka mata loe. Gue disini. Apapun yang terjadi, gue akan
tetap di samping loe.”
“Joe,
semua akan baik-baik saja.” Saat itu juga handphone
Jean berbunyi. Sepertinya orang yang meneleponnya adalah Ken.
“Halo
Jane? Gimana keadaan Mili? Ntar sore gue kesana”
“Dia
sekarang masih belum sadar Ken. Tapi loe tenang aja, kata dokter keadaannya
udah mulai membaik kok. Yaa meskipun kemungkinan buruk bisa terjadi”
Saat
percakapan itu sedang berlangsung, sesuatu mengejutkan Joe. Jari-jari Mili
terlihat mulai bergerak. Ia sedikit demi sedikit membuka matanya.
“Jean..Jean...Mili
sadar”
“Mili....”
begitu melihat Mili, ia langsung menutup percakapannya dengan Ken.
“Mili.
Hey, gimana keadaanmu?” tanya Joe sambil tersenyum sumringah.
“Gue
dimana?” Mili memegang kepalanya yang sedang dibalut perban putih itu. Dia
masih merasa sedikit pusing. Ia nampak begitu kebingungan.
“Loe
di rumah sakit. Syukurlah loe udah sadar. Kita semua khawatir dengan keadaan
loe” jawab Jane
“Rumah
sakit? Loe siapa? Kenapa gue di sini?”
Pertanyaan
Mili itu membuat kedua orang yang sedang berada di ruangannya merasa syok. Hal
yang mereka takutkan ternyata terjadi. Mili nampak begitu kebingungan melihat
siapa mereka berdua dan mengapa ia sekarang berada di rumah sakit. Pertanyaan
demi pertanyaan ia lontarkan kepada mereka berdua. Joe tak tau harus menjawab
apa. Jane menangis melihat Mili yang seperti ini. Melihat sikap mereka berdua
yang seperti itu membuat Mili semakin bingung. Apa hubungannya mereka berdua
dengannya? Dan mengapa ia sekarang tidak dapat mengingat kejadian apa-apa?
Mili
berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya. Tapi apa yang terjadi? Dia tak
dapat menggerakkan kakinya. Ia merasa bahwa kedua kakinya itu sudah mati rasa.
Bahkan ia tak dapat merasakan sakit di kakinya, padahal kedua kakinya dipenuhi
dengan luka dan lebam. Keadaannya sekarang membuat dirinya menangis. Dia tak
tau kenapa semuanya jadi seperti ini.
Jane
mencoba mendekati Mili dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Joe
duduk di samping Mili. Dia mengelus lembut dahi Mili. Dia berkata bahwa semua
kenangan akan segera Mili ingat kembali. Joe mengatakan kepadanya bahwa
sahabat-sahabatnya tidak akan pernah meninggalkannya dan membuatnya jatuh
terpuruk.
“Mil, kita
ini sahabat loe. Joe juga bakal selalu jagain loe. Jadi loe nggak perlu
khawatir. Loe pasti juga bisa kembali berjalan. Kita akan bantu loe agar loe
cepet sembuh. Kita semua sayang sama loe. Selain kita, masih ada Ken dan Zeze
yang akan selalu bersama loe, Mil. Meskipun disini loe nggak punya keluarga,
tapi kita disini bersama-sama menjadi bagian dari keluarga loe.”
“Thanks
yaa. Sepertinya kalian begitu penting ya buat gue. Tapi kenapa gue nggak
inget?”
“Loe
kecelakaan, Mil. Dan semua itu karena cowok brengsek itu. Gue udah sepet banget
liat mukanya.”
“Cowok
brengsek?”
“Udah,
Mil. Nggak usah loe pikirin. Istirahat dulu aja sekarang. Gue dan Jean bakal
ngejagain loe disini”
Mili
tersenyum senang karena disini rupanya ia tidak akan sendirian dan ia juga
tidak akan terlalu susah menanggung kekurangannya sekarang. Masih ada
orang-orang yang mereka sebut sahabat meskipun sebenarnya ia tidak
mengingatnya. Mili kembali berbaring dan memejamkan matanya. Siapa tau saat ia
bangun nanti ternyata ini semua hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang sedang
menggeluti dunianya. Tapi nyatanya begitu malam tiba ia mulai terbangun. Mili
merasa begitu sedih karena semua ini bukanlah mimpi. Tapi semua ini adalah
kenyataan yang benar-benar harus ia hadapi dan ia harus berjuang untuk
membuatnya menjadi lebih baik.
Saat ia
terbangun, Mili mendapati seorang laki-laki yang duduk di sebelah Joe
melambaikan tangan kepadanya, “Haii...Jangan bilang loe lupa dengan gue. Gue
Ken. Karyawan Milijoe’s yang paling ganteng. Hahahaha” Ken mencoba menghibur
Mili dengan celotehnya yang nggak jelas. Padahal ia adalah tipikal cowok yang
jutek dan pendiam. Tapi melihat sahabatnya seperti itu ia berusaha untuk
berubah sedikit agar gadis itu bisa tersenyum. Mili tertawa melihat tingkah
Ken. Joe terlihat tersenyum karena akhirnya dia bisa melihat senyum kembali terukir
di wajah cantik Mili.
Satu
minggu pun telah berlalu. Sudah dari beberapa hari yang lalu Mili diperbolehkan
untuk pulang. Sekarang ia tinggal di rumahnya bersama Jean. Terkadang Joe dan
Ken juga bergantian untuk menjaga Mili dan membantu Jean di rumah. Sesekali
Zeze juga menengok dan membawakan makanan kesukaan Mili. Sekarang semuanya
bekerja keras untuk membuat keadaan Mili jauh lebih baik. Meskipun semua itu
terasa begitu sulit untuk mereka. Rasa lelah dan menyerah pun tak pernah
terpikir oleh mereka. Sebulan sudah mereka bersama-sama merawat Mili. Tak ada
rasa pamrih atau merasa kerepotan karena kekurangan Mili itu. Inilah sahabat.
Inilah persahabatan yang sesungguhnya. Mereka semua tetap bersatu dan
bersama-sama selalu berada di samping Mili meskipun ia sama sekali tidak
mengingat siapa mereka.
Sudah satu
bulan lebih Davi tidak ada kabar dan sekalipun juga tidak mengunjungi Mili. Joe
bersyukur karena dengan Mili amnesia, dia tidak akan mengingat siapa Davi.
Karena apabila ia mengingatnya pasti luka di dalam hatinya terbuka kembali.
Saat ini Mili merasa senang karena kasih sayang sahabat-sahabatnya itu meskipun
keadaannya sekarang seperti ini. Dia juga sudah lupa akan sakit yang telah Davi
berikan untuknya. Dengan begitu dia akan segera memulai hidup baru tanpa cowok
brengsek itu. Namun meskipun begitu, suatu saat mungkin dia juga akan teringat
tentang siapa Davi. Entah itu minggu ini, bulan ini atau tahun depan dan
mungkin saja jauh di tahun-tahun yang
akan datang ingatannya sedikit demi
sedikit akan kembali. Joe dan yang lainnya hanya tidak mau Mili kembali
bersedih. Mereka hanya ingin membuat Mili merasa bahagia.
Sampai
saat ini Mili masih mencoba untuk mengingat kembali siapa dirinya. Dia juga
berusaha untuk mengingat sahabat-sahabatnya itu. Meskipun terkadang tekat itu
membuat kepalanya sering merasa sakit. Tapi hanya ini yang bisa ia lakukan
sekarang. Namun semakin ia berusaha keras, tak ada hasil yang dia capai. Yang
ada hanyalah rasa sakit yang mencengkeram kepalanya. Melihat sikap Mili yang
seperti itu Joe merasa kasihan kepadanya. Dia tidak tega melihat Mili yang
selalu kesakitan saat ia berusaha mengingat semuanya.
“Mili..udah,
cukup. Loe nggak perlu terlalu memikirkan hal itu. Dengan berjalannya waktu loe
pasti bisa ingat semuanya. Kalau loe ada pertanyaan, tanyakan saja ke gue,
Jean, Ken ataupun Zeze. Loe nggak perlu khawatir, karena disini banyak yang
bantu loe. Oh yaa, jangan lupa habis ini ada jadwal fisioterapi”
“Makasih
Joe. Loe baik banget. Mmm...gue liat, loe peduli banget sama gue. Apa mungkin
di masa lalu loe itu cowok gue? Atau mungkin lebih dari itu?”
“Hahaha...bukan.
Gue bukan cowok loe. Gue adalah sahabat loe dari kita masih kecil. Dan sebelum
orang tua loe meninggal karena kecelakaan, mereka meminta gue buat selalu
jagain loe. Tenang aja, gue bakal selalu ada buat loe kayak dulu lagi”
“Oh
gitu..sepertinya loe bener-bener berarti ya buat gue. Tapi gue minta maaf belum
bisa inget itu semua. Mmm...loe punya cewek?”
Joe
tersenyum mendengar pertanyaan Mili, “Gue terlalu sibuk ngurusin Milijoe’s dan
cewek manja yang satu ini. Jadi nggak pernah kepikiran nyari pacar” Joe tertawa
sambil mencubit pipi Mili.
Mili
merengut. Bibirnya juga terlihat manyun. Joe sangat senang melihat ekspresi
Mili yang seperti itu, “Gue dulu manja yaa? Nyusahin loe mulu? Maaf deh...”
“Haa??
Sejak kapan loe belajar minta maaf? Hahaha.. bercanda kok. Yaudah, gue bantuin
siap-siap yuk. Udah waktunya ke rumah sakit” Joe menggendong Mili bangun dari
tempat tidur dan memindahkannya ke kursi roda. Sudah hampir dua bulan ini Joe
selalu menemani Mili untuk menjalani fisioterapi, namun belum ada kemajuan. Joe
tak pernah menyerah untuk membuat Mili dapat berjalan kembali. Selain
fisioterapi di rumah sakit, terkadang dia juga mengajarkannya berjalan di
rumah. Meskipun gadis itu masih belum bisa berdiri sendiri dan sering terjatuh
saat terapi, Joe tetap bangga dengan usaha keras Mili agar bisa segera
berjalan. Joe percaya, meskipun itu terasa sulit untuk Mili tapi dengan kemauan
yang keras pasti suatu saat nanti ia dapat berjalan kembali. Joe tidak peduli
entah itu membutuhkan waktu yang begitu lama. Dia akan selalu membantunya
dengan sayang.
Terkadang
Mili merasa jenuh karena ia selalu bolak-balik ke rumah sakit. Dia juga sangat
membenci bau rumah sakit yang di penuhi dengan aroma obat-obatan. Tapi
bagaimanapun juga semua itu harus dia tahan hanya untuk kesembuhannya.
Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya dia ingin cepat sembuh dan bisa kembali
beraktifitas seperti semula. Mili tidak ingin menyusahkan semua sahabatnya
seperti itu dan paling ia inginkan adalah dia ingin semua ingatannya kembali.
Dia takut bahwa dia telah melupakan semua kenangan indah yang telah mereka
berikan untuknya. Mili tidak ingin mengecewakan sahabat yang selama ini setia
bersamanya, terlebih lagi Joe.
“Selamat
sore Emilia” sapa petugas terapi itu dengan ramah. Kali ini dia harus belajar
berjalan lagi. Setidaknya tiga kali dalam seminggu ia ingin selalu menjalani
terapi agar kedua kakinya bisa bergerak lagi.
“Sore juga
pak. Joe, loe tunggu di luar aja ya. Oke?”
“Haa? Iyaa
deh oke. Gue mau cari minuman sebentar ya.”
“Oke”
“Pak, saya
nitip Mili dulu ya.”
“Siap mas
Joe”
Joe pergi
menuju kantin rumah sakit untuk membelikan Mili minuman dan makanan. Tapi
langkah Joe terhenti saat ia melewati taman yang berada di sebelah kantin rumah
sakit. Dia melihat sesosok laki-laki seumurannya sedang duduk di bangku taman.
Wajahnya terlihat pucat. Dia nampak sedang termenung. Raut mukanya menunjukkan
bahwa saat ini ia sedang merasa sedih. Joe merasa kasihan melihatnya. Dia mendekati
laki-laki itu dan ia memulai percakapan mereka berdua.
“Hei..kantin
di sini makanannya enak nggak sih?” tanya Joe sembari menatap indahnya langit
di sore hari.
“Haa?? Oh,
itu...lumayan sih. Nggak terlalu buruklah”
“Loe sakit
dan dirawat disini?”
“Yaap. Gue
berasa seperti tinggal disini”
“Tinggal
disini? Maksud loe?”
“Gue ini
memiliki kelainan jantung. Udah 2 bulan gue di rawat disini”
Percakapan
mereka berlangsung cukup lama. Ternyata laki-laki itu memiliki kelainan
jantung. Semasa kecilnya ia sudah terbiasa keluar masuk rumah sakit dan ia juga
tidak jarang untuk selalu tinggal di rumah sakit untuk mendapat perawatan yang
intensif. Sampai sekarang dia belum mendapatkan pendonor untuk tranplantasi
jantung. Hidup laki-laki itu benar-benar tersiksa. Selama ini dia tidak bisa
bermain sepak bola bersama teman-temannya. Bahkan dia tidak pernah keluar untuk
bermain dengan teman-temannya. Walau ia keluar, dia hanya bisa memandangi mereka
yang sedang asyik bermain. Laki-laki itu harus menjaga kondisi jantungnya dan
dia tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan yang menguras tenaga.
Joe
tertegun mendengar cerita tentang betapa sulit laki-laki itu untuk bisa
bertahan hidup. Ternyata masih ada orang yang hidupnya lebih menyakitkan dari
pada Mili. Dia benar-benar merasa kasihan kepada laki-laki yang berada di
sampingnya sekarang. Suatu saat nanti ia bisa mati apabila dirinya tidak segera
mendapat donor jantung.
Tak terasa
hari sudah semakin sore. Mereka sampai lupa karena keasyikan mengobrol berdua.
Masing-masing menceritakan pengalaman hidupnya. Joe ingat kalau dia harus cepat
kembali karena pasti disana Mili telah menunggu. Dia berpamitan kepada
laki-laki itu karena dia harus membeli sesuatu di kantin dan dia juga mesti
kembali ke ruang terapi.
Ternyata
disana Mili juga sudah hampir selesai menjalani terapinya. Alangkah terkejutnya
Joe, dia melihat kedua kaki Mili sudah bisa bergerak sedikit demi sedikit.
Baginya, ini adalah kemajuan yang cukup besar karena sebelumnya dia sama sekali
tetap belum bisa bergerak sedikitpun. Joe yakin bahwa kemauan Mili untuk segera
sembuh semakin besar. Dia juga yakin bahwa sahabatnya itu sebentar lagi dapat
berjalan seperti semula. Mili terlihat sumringah sekali hari ini. Berkali-kali
ia melambai-lambaikan tangannya kepada Joe untuk menunjukkan bahwa dia sangat
senang sekali meskipun terkadang itu membuatnya terjatuh.
Waktu
terapi sudah selesai. Mereka berdua duduk-duduk di taman rumah sakit sambil
bercerita tentang banyak hal. Mili terlihat betapa senangnya dia hari ini.
Senyum lebar selalu terukir di wajahnya. Joe menceritakan hal yang membuat Mili
lama menunggunya tadi. Dia bercerita mengenai laki-laki yang ia temui tadi sore
di sini. Mendengar apa yang Joe ceritakan, Mili sadar bahwa selama ini dia
hidup kurang bersyukur. Masih ada orang yang dengan susah payah harus bertahan
agar hidupnya tetap panjang.
bersambung...