Artikel ini Saya dapatkan dari referensi artikel
sebuah media sosial. Silahkan Anda membacanya untuk menambah pengetahuan dan
semoga juga dapat belajar bagaimana mendirikan kesabaran dalam menghadapi ujian
hidup. Semoga bermanfaat :)
Sesungguhnya ujian dan cobaan yang datang
bertubi-tubi menerpa hidup manusia merupakan satu ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Tidak satu pun diantara kita yang mampu
menghalau ketentuan tersebut.
Sesungguhnya ujian dan cobaan yang datang
bertubi-tubi menerpa hidup manusia merupakan satu ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Tidak satu pun diantara kita yang mampu
menghalau ketentuan tersebut.
Keimanan, keyakinan, tawakkal dan kesabaran yang
kokoh amatlah dibutuhkan oleh seorang hamba dalam menghadapi badai cobaan yang
menerpanya. Sehingga tidak menjadikan dirinya berburuk sangka kepada Allah
Subhanahu wata’ala terhadap apa yang telah ditentukan baginya.
Oleh karena itu, dalam keadaan apapun seorang
hamba yang beriman kepada-Nya harus senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Dan
haruslah diyakini bahwa tidaklah Allah menurunkan berbagai musibah melainkan
sebagai batu ujian atas keimanan yang mereka miliki. Allah Ta’ala berfirman :
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke
dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya : Bilakah datang pertolongan
Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.” (Al Baqarah :
214)
Kesabaran merupakan perkara yang amat dicintai
oleh Allah dan sangat dibutuhkan seorang muslim dalam menghadapi ujian dan
cobaan yang dialaminya. Sebagaimana dalam firman-Nya :
“…Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali
Imran : 146)
Selama roda kehidupan terus berputar, seorang
takkan pernah luput dari menuai ujian dan cobaan. Dengan berbagai musibah yang
datang silih berganti ini, hendaknya seorang introspeksi diri dan semakin
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala. Bukan mengambil jalan pintas
dengan mengklaim ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Karena tidak
ada yang bisa memberikan solusi terbaik dari berbagai ujian dan cobaan hidup
melainkan hanya Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menggambarkan
kriteria seorang mukmin dalam menyikapi ketentuan Allah Subhanahu wata’ala,
beliau bersabda :
عجباً لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ
خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ, فَكَانَ خَيْراً لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً
لَهُ ". رواه مسلم
“Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin.
Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan tidaklah didapatkan
pada seorang pun hal tersebut melainkan pada diri seorang mukmin : Jika dia
merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika
kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya.” (Riwayat
Muslim)
Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
rahimahullah, beliau menerangkan tentang hadits di atas : (Sungguh mengagumkan
urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya),
maksudnya : “Sesungguhnya Rasul ‘alaihis sholatu wassalam menampakkan kekaguman
beliau dengan pandangan kebaikan (terhadap perkara seorang mukmin), maksudnya :
“terhadap urusannya.” Maka sesungguhnya seluruh urusan itu (dianggap) baik
baginya dan tidak terdapat hal tersebut kecuali pada diri seorang mukmin.
Kemudian Rasul ‘alaihisholatu wassalam memberikan rincian tentang perkara
kebaikan tersebut dengan sabdanya : (Jika dia merasakan kesenangan maka dia
bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia
bersabar. Dan itu lebih baik baginya). Beliau (Asy Syaikh Al Utsaimin) berkata
: “Ini adalah keadaan seorang mukmin. Setiap manusia berada dalam
ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Dan manusia
dalam menyikapi ujian dan cobaan ini terbagi menjadi dua golongan : mukmin dan
non mukmin (kafir).
Adapun golongan Mukmin ; menganggap baik segala ketentuan
Allah baginya. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia bersabar atas
ketentuan-ketentuan Allah dan senantiasa menanti pertolongan-Nya serta
mengharapkan pahala Allah. Semua itu merupakan perkara yang baik baginya dan
dia memperoleh ganjaran kebaikan selaku orang-orang yang bersabar.
Jika kesenangan itu mendatanginya, baik berupa
kenikmatan agama ; seperti ilmu, amalan sholih dan kenikmatan dunia ; seperti
harta, anak-anak dan keluarga, maka dia bersyukur lagi menjalankan ketaatan
kepada Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, seorang mukmin memperoleh dua
kenikmatan, yaitu : kenikmatan agama dan dunia. Kenikmatan dunia diperoleh
dengan kesenangan dan kenikmatan agama diperoleh dengan bersyukur. Maka inilah
kondisi seorang mukmin.
Adapun golongan non mukmin ; (Sungguh) berada
dalam kejelekan, wal’iyyadzubillah. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia
tidak sabar, berkeluh kesah, mencemooh, mengutuk, mencerca masa (waktu) bahkan
mencela Allah Azza wa Jalla.
Jika kesenangan menghampirinya, dia tidak
bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan ini akan menjadi balasan siksaan di
akhirat.
Maka kondisi orang kafir tetap jelek, baik
mendapatkan kesusahan maupun kesenangan. Berbeda halnya dengan orang mukmin
yang senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan.
Ada beberapa faedah (yang bisa kita ambil) dari
hadits ini :
1. Adanya dorongan (untuk tetap kokoh) diatas
keimanan. Dan seorang mukmin senantiasa dalam kebaikan dan kenikmatan.
2. Adanya dorongan untuk sabar atas kesusahan
yang menimpa. Karena (sabar) merupakan perangai keimanan. Apabila anda sabar
dalam menghadapi kesusahan dan diiringi dengan menanti (pertolongan) Allah agar
dibebaskan dari (kesusahan tersebut). Kemudian mengharap pahala Allah Subhanahu
wata’ala, maka hal tersebut merupakan tanda keimanan.
3. Adanya dorongan untuk bersyukur tatkala
(memperoleh) kesenangan. Jika seorang bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang
diperoleh. Maka ini adalah taufiq dari Allah dan termasuk salah satu sebab
bertambahnya kenikmatan, Sebagaimana Allah berfirman :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan
: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.” (Ibrahim : 7).
Jika Allah memberi taufiq kepada seorang hamba
untuk bersyukur kepadanya, maka ini adalah suatu nikmat yang patut untuk
disyukuri untuk kedua kalinya. Dan apabila dia diberi taufik lagi, maka itu
adalah suatu nikmat yang patut disyukuri untuk ketiga kalinya. Demikian
seterusnya.
Sedikit sekali manusia yang mensyukuri
nikmat-Nya. Oleh karena itu, jika Allah menganugerahkan kepada anda rasa syukur
dan memberikan pertolongan padanya, maka ini adalah nikmat.
Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah sya’ir :
Jika rasa syukur terhadap nikmat Allah itu adalah
sebuah nikmat
Maka yang semisalnya (nikmat tersebut) wajib pula
disyukuri
Tidak akan sampai rasa syukur itu melainkan
dengan keutamaan-Nya
Walaupun hari-hari (masanya) panjang dan umur pun
(masih) menyertai
(Syarah Riyadhus Sholihin hal 95-96 cet Darul
Aqidah)
Alangkah indahnya perangai seorang mukmin ketika
menghadapi ketentuan-ketentuan yang berlaku padanya. Jika ujian itu datang
berupa nikmat, maka dia mensyukurinya. Dan jika ujian itu datang berupa
kesulitan, kesusahan, kemiskinan, kelaparan, musibah dan sebagainya, maka dia
bersabar dengannya. Dua perangai tersebut, yaitu syukur dan sabar merupakan
amalan yang agung, bahkan keduanya termasuk dalam perangai keimanan.
Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salaf : “Iman itu dua bagian, bagian
pertama adalah sabar dan bagian kedua adalah syukur.” Dan mereka menyandarkan
perkataan tersebut dengan firman Allah Azza wa Jalla :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”
(Ibrahim : 5)
Macam-Macam Kesabaran
Ibnul Qoyyim rohimahullah mengatakan dalam
Madarijus Salikin : “Sabar adalah menahan jiwa dari keluh kesah dan marah,
menahan lisan dari mengeluh serta menahan anggota badan dari berbuat tasywisy
(tidak lurus). Sabar ada tiga macam : Sabar dalam berbuat ketaatan kepada
Allah, sabar dari maksiat, dan sabar dari cobaan Allah.”
Oleh karena itu sabar dibagi menjadi tiga
tingkatan :
1. Sabar dari meninggalkan kemaksiatan karena
takut ancaman Allah, senantiasa dalam keimanan dan meninggalkan perkara yang
diharamkan. Yang lebih dari ini adalah sabar dari meninggalkan kemaksiatan
karena malu kepada Allah. Penyebutan sabar dari maksiat memiliki dua sebab dan
dua faedah :
Sebab pertama adalah takut ancaman yang akan
menimpanya bila melakukan maksiat.
Sebab kedua adalah malu kepada Allah.
Adapun dua faedah sabar dari meninggakan
kemaksiatan adalah tetapnya keimanan dan menjauhkan diri dari yang haram.
2. Tingkatan sabar yang kedua adalah sabar dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan terus-menerus melaksanakannya,
memelihara keikhlasan dalam mengerjakannya dan memperbaikinya.
Tingkatan kedua ini menunjukkan bahwa
melaksanakan ketaatan lebih ditekankan daripada meninggalkan maksiat. Sehingga
sabar pada tingkatan kedua ini di atas tingkatan sabar dari meninggalkan
maksiat.
Sabar dalam tingkatan kedua ini mengandung tiga
hal :
a. terus menerus dalam ketaatan.
b. Ikhlas dalam melaksanakannya.
c. Mengerjakannya sesuai dengan kandungan ilmu.
Ketaatan akan sirna bila salah satunya tidak
terpenuhi. Seorang hamba bila terus-menerus dalam ketaatan berarti dia telah
menunaikan (ketaatan itu). Dan jika mampu untuk melaksanakannya secara
berkesinambungan, maka dia akan menghadapi dua bahaya berikutnya :
a. Tidak ikhlas, bila yang menimbulkan
ketaatannya bukan semata-mata mengharap wajah Allah. Bahaya ini dihindari
dengan cara memelihara keikhlasan.
b. Tidak sesuai dengan ilmu, maksudnya ; tidak
sesuai dengan sunnah. Dan menghindari bahaya ini dengan mutaba’ah (mengikuti)
jejak Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. (Madarijus Salikin jilid 2 hal
171-173 Darul Kutub Al Ilmiyah cet. thn 1420 H)
Ada beberapa hal yang akan menuntun seorang hamba
sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan, sebagai berikut :
1. Hendaklah dia menyaksikan bahwa Allah
Subhanahu wata’ala adalah Pencipta amal perbuatan hamba, baik gerakan-gerakan,
tingkah laku dan kehendak-kehendak mereka. Kapan saja Allah menghendaki
terjadinya amal perbuatan tersebut maka terjadilah. Dan jika Allah tidak
berkehendak maka tidak terjadi. Tidak ada satu debu pun yang bergerak di
permukaan bumi maupun di dalam perut bumi melainkan dengan ijin dan
kehendak-Nya.
2. Hendaklah dia memandang kepada dosa-dosa yang
telah dilakukannya. Dan Allah menimpakan musibah-musibah tersebut disebabkan
dosa-dosanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka
adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian
besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syuro : 30).
Apabila seorang hamba menyadari bahwa
musibah-musibah yang menimpa disebabkan oleh dosa-dosanya. Maka dia akan segera
bertaubat dan meminta ampun kepada Allah dari dosa-dosa yang melilit dirinya.
Dikatakan oleh Ali bin Abu Tholib dan selainnya : “Tidaklah turun suatu
malapetaka melainkan karena dosa. Dan tidaklah diangkat (malapetaka tersebut)
kecuali dengan bertaubat.”
3. Hendaklah dia mengetahui bahwa Allah
bersamanya apabila dia bersabar. Dan Allah cinta dan ridho kepadanya. Jika
Allah bersamanya maka dirinya tidak terhanyut oleh berbagai gangguan dan
mudharat, dimana tidak ada seorang pun dari kalangan makhluk-Nya yang mampu
menghalau. Allah Ta’ala berfirman :
"Dan sabarlah sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (Al Anfal : 46)
Dan Firman-Nya :
“…Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
(Ali Imran : 146)
Al Imam Syafi’i berkata dalam sya’irnya :
Bersabarlah yang indah, alangkah
dekatnya kelapangan
Barangsiapa yang muraqabah (merasa
diawasi) Allah dalam seluruh urusan, ia akan
berhasil
Barangsiapa yang membenarkan Allah,
tidak akan terbawa gangguan.
Dan barangsiapa yang mengharapkan-Nya,
Dia akan ada dimana dia mengharap. (Manaqib Asy
Syafi’i, Al Baihaqi 2/362)
4. Hendaklah dia mengetahui bahwa jika dia
bersabar, maka Allah akan menjadi penolongnya. Sesungguhnya Allah Maha
Pelindung terhadap orang-orang yang sabar dan tidak akan menzholiminya.
Demikianlah risalah ringkas tentang sabar dalam
menghadapi ujian hidup. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita kepribadian
yang tangguh dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia ini dan kembali ke
negeri Akhirat dalam keadaan memperoleh ridho-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
sumber
:https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=485595691467275&id=129120947114753
Tidak ada komentar:
Posting Komentar